Ketika nenek saya (Nyai Bisri Mustofa) wafat sebulan yang lalu, konon terjadi kekacauan informasi didunia tweeter –saya sendiri tidak ngetwit, meskipun sudah punya akun. Banyak tweetwers mengira bahwa yang meninggal adalah isteri paman saya (Nyai Mustofa Bisri) dan sejumlah teman menelepon saya untuk meminta kejelasan.
Beberapa waktu yang lalu, datang seorang ustadz dari Kuala Lumpur, Malaysia. Dia itu keturunan Jawa, dan sudah beberapa tahun beristiqomah mengajarkan "Al Ibriz", kitab tafsir karya kakek saya (Kiyai Bisri Mustofa), di berbagai masjid di Kuala Lumpur. Ia datang ke Rembang sengaja mencari paman saya (Kiyai Mustofa Bisri) dengan maksud minta ijazah kitab tersebut demi menyempurnakan barokah.
"Oh, silahkan", kata paman saya, "sejak ditulis, kitab itu memang sudah diniyati ijazah ilmu".
Ustadz itu tampak lega.
"Ngomong-ngomong, kapan kitab ini selesai ditulis?" ia bertanya.
"Yaa… sekitar awal 60-an".
Si Ustadz terperangah. Kaget bukan kepalang. Ia pandangi paman saya lekat-lekat, seolah meneliti makhluk asing.
"Memangnya panjenengan sekarang usia berapa?"
"Enam puluh atau enam puluh satu"
"Waduh!", Si Ustadz garuk-garuk kepala, "jadi waktu nulis Al Ibriz itu panjenengan baru usia berapa?"
Paman saya tertawa terbahak-bahak. Lalu menjelaskan kekeliruan Si Ustadz yang telah menganggap Mustofa Bisri sebagai Bisri Mustofa.
Perlu diketahui, ini bukan potensi kekacauan yang paling buruk. Ketika dikaruniai anak lelaki (semata wayang, bungsu setelah enam orang anak perempuan berturut-turut), paman saya menamainya Bisri pula. Jadi: Bisri (bin) Mustofa bin Mustofa (bin) Bisri bin Bisri (bin) Mustofa. Bingung?
Sewaktu diajak ayahnya berziarah ke Palestina, adik sepupu saya itu tertahan berjam-jam di pos imigrasi Israel sampai harus minta bantuan kesana-kemari untuk "membebaskannya". Belakangan baru disadari bahwa pihak Israel pusing membaca data identitas di paspornya:
Nama : Bisri Mustofa bin Mustofa Bisri
Alamat: Jl. KH Bisri Mustofa
Saya bayangkan, petugas imigaris Israel berpikir seperti Bu Satomi Nurchasanah setiap kali beliau membaca dongengan saya: "Ini beneran atau guyon?"
Belakangan saya dapati keruwetan yang bahkan lebih parah lagi. Yaitu bahwa ada saja orang yang mengira saya ini adiknya Gus Mus. Maka, waktu nenek saya wafat, ada sejumlah SMS masuk ke HP saya yang isinya: "Turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda Gus Mus dan Gus Yahya". Padahal yang meninggal itu nenek saya saja, sedangkan ibu saya masih segar-bugar. Nasib….
________________________
Dishare dari KH. Yahya Cholil Staquf
Pernah menjadi Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat ini sebagai Katib Syuriah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.
0 Response to "MusliModerat: Mbuletnya Nama Se-Keluarga: Antara Kyai Bisri Mustofa (Alm) dan Kyai Mustofa Bisri"