Kalau dilihat sepintas, seakan-akan dawuhnya berlawanan tapi kalau dihayati lebih mendalam tidak berlawanan. Monggo...
"Kudu wani melarat" disini bukan berarti kita tidak boleh kaya. Dalam dawuhnya tidak ada kalimat yang bermakna larangan untuk kaya, yang ada kalimat perintah untuk berani melarat. Ini antisipasi agar jiwa para santri sudah siap ketika nasib kurang beruntung. Bila dikaitkan dengan gaya hidup ulama' terdahulu, yang dilarang oleh Mbah Yai adalah hanya zuhud secara lahir tapi batin tidak. Kaya tapi zuhud secara batin itu lebih baik dari pada miskin tapi batinnya tidak zuhud atau batinnya masih suka duniawi.
Kesimpulan ini tersirat dalam dawuh "kudu obah senajan dodol pentol, ojo sampai ngedol agomone..!". Dawuh ini juga mengisyaratkan larangan menjadikan agama sebagai modal menjadi kaya. Yang diharapkan dari Beliau adalah boleh kaya tapi dengan usaha, bukan dengan atribut agamanya. Isyarat ini tersirat dalam gaya hidup Beliau. Beliau dilingkari dengan harta, tapi Beliau tidak kumantil dengan hartanya. Harta Beliau yang ada juga bukan dari hasil kegiatan keagamaanya, tapi hasil usaha.
Bila dipikir lebih jauh, andai santri menjadi tokoh dan kaya karena kegamaannya di kampung halamannya sedang hatinya masih cinta pada dunia, maka sebenarnya penduduk kampungnya bukan sedang dibimbing olehnya, tapi mereka sedang melakukan transaksi jual beli dengan santri. Ini yang sangat dikhawatirkan oleh Mbah Yai. Jadi, santri itu harus punya jiwa wirausaha tapi hatinya tidak cinta pada hasil wirausahanya.
Bila disimpulkan: "LEBIH BAIK KERJA (USAHA) DIJADIKAN IBADAH, dari pada IBADAH DIJADIKAN KERJA (USAHA).
Berat...? Ya memang berat. Tapi semoga kita terlepas dari menjadi PEBISINS AGAMA dan menjadi PEBISNIS BERAGAMA. Amiin...
Dumateng mbah yai Aziz lahul faatihah...
Sumber: FP IlmuTasawuf.com
0 Response to "MusliModerat: KH Abdul Aziz Mansur: Ketika Pulang dari Pesantren, Santri jangan Menjual Agama"